Kamis, 22 Januari 2009

OPINI

”Pemilu yang Rileks”

Politik itu parodi, parodi itu tidak ada. Pemilu itu pesta demokrasi, demokrasi itu tidak ada. Kira-kira itu kata-kata yang menyeruak dan menyembul dari ubun-ubun penulis memikirkan format cara pandang yang berupaya mengolaborasikan antara pesimisme dan anti optimisme. Pesimisme masih memimpin meskipun konon 2008 adalah kemenangan sang pemimpi. Sang Barack Obama sebagai pemimpi berhasil menjadi presiden AS, dan di dalam negeri ada Laskar Pelangi sebagai kemenangan Andrea Hirata sebagai si Pemimpi dari kampung melayu-Belitong.
Baiklah kita akan mencoba membagi model pemilihan umum menjadi beberapa bagian. Karena demokrasi adalah option maka anda bisa memilih mana yang paling anda sukai atau tidak disukai. Rasionalitas anda tidak dipaksakan asal tidak menuju the common tragedy atau bencana ummat. Ada 5 macam model pemilu antara lain; Pemilu sebagai pesta kerakyatan, Pemilu tanpa demokrasi, pemilu yang elitis, pemilu yang high cost, dan pemilu yang rileks. Sebagai penjelasan sebagai berikut.

Pertama, Pemilu sebagai pesta kerakyatan. Terjadi kira-kira tahun 1950-an yang dianggap menjadi ujung tombang demokrasi prosedural sebagai kemenangan antara kelompok administrator dan solidarity maker. Idealnya kampanye politik tidak mahal, tidak anarkhis, berani debat gagasan, dan tentu saja sangat ideologis sebagai argumen utama tindakan politik para aktor. Pemilu yang akan diselenggarakan pada tahun 2009 memiliki arti dan makna yang sangat strategis dan penting bagi kemajuan bangsa dan Negara Indonesia di masa mendatang. Pemilu itu merupakan momentum penting bagi rakyat, karena mereka mendapat kesempatan untuk dapat memilih wakil-wakil dan pemimpinnya yang dianggap terbaik dan diharapkan dapat membawa perbaikan dan kemashlahatan bagi rakyat dan bangsa negeri ini untuk masa lima tahun ke depan

Kedua, Pemilu tanpa demokrasi alias demokrasi minus demokratis. Artinya, pemilu hanya menjadi abang-abang lambe, sebab sebelum pemilu sudah ada pemenangnya. Pihak yang berkuasa memakasakan segala sumber daya alam yang bisa dimodifikasi kayak tanah lempung, kaum birokrat menjadi pengikat suara dari kota sampai ke pelosok desa. Terjadi sepanjang tahun dibawah kekuasaan Orde Baru Panglima dan Raja besar Jendral Soeharto. Dulunya asasnya LUBER (langsung Umum Bebas rahsia). Lalu setelah reformasi ditambah dengan JURDIL (jujur dan adil) karena selama Orde Baru memang Demokratis tapi minus kejujuran dan keadilan.

Ketiga, Pemilu yang elitis. Pemilu memang untuk orang-orang punya modal, elite yang berkuasa dan untuk menumpuk kekuasaan dan harta modal bagi kaun the haves. Pemilu yang demikan sama sekali jauh dari pesta rakyat. Akan tetapi, meminjam bahasa Iwan fals pesta pora binatang” yang saling menjejak, menjegal dan mengadu domba. Pemilu selalu dimenangkan oleh the haves dan mengorbankan the haves not atau rakyat kebanyakan. Sekali lagi, hanya pemilu 1955 sebagai kemenangan rakyat untuk menentukan kehidupan berbangsa-bernegara dari kolonialisme. Pemilu berikutnya adalah pemilu elitis, dan dipaksakan menjadi populis.

Keempat, Pemilu yang high cost. Dibandingkan dengan Pemilu 2004 yang hanya menghabiskan biaya sekitar Rp 3,5 triliun untuk Pemilu DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD serta Pemilihan Presiden (Pipres), maka Pemilu 2009 mengalami lonjakan yang sangat tajam. Ketua KPU, Abdul Hafidz Anshori menyebutkan total anggaran KPU dan Pemilu 2009 sekitar Rp 47,9 triliun. Anggaran tersebut dialokasikan untuk kebutuhan KPU dan Pemilu masing-masing sebesar Rp 18,6 triliun untuk tahun 2008, dan Rp. 29,3 triliun untuk proses Pemilu 2009. Biaya pemilu mungkin terlalu besar bagi kaum idealis. Jika miliaran bahkan sampai trilyun bisa dibantukan untuk membuka lowongan pekerjaan, memberdayakan fakir miskin.

Kelima, Pemilu yang anarkhis. Terjadi bakar-bakaran, perang seiman dan seagama, se tanah air dan sebagainya. Sangat disayangkan jika Golput diharamkan, dan dilarang atau sampai dipidanakan. Tidak memilih bukan berarti tidak cintah tanah air atau nasionalismenya telah tumpul. Tidak ada hubungan sama sekali. Pemilu seperti adzan, jika ada tetangga tidak datang ke masjid ya apa salahnya. Dalam konteks pemilu, tidak datang ke bilik suara, apa hendak di kata bisa jadi ada sesuatu yang lebih penting dari pencoblosan atau pencontrengan kertas secara berjamaah. Pemaksaan memilih sendiri menciderai demokrasi, penindasan apalagi pasti menganiaya kemanusiaan.

Terakhir adalah, Pemilu yang rileks. Santai aja tidak perlu perang saudara, konflik vertikal atau horisontal. Tapi memang yang diatas harus dibuat tahu diri dan ”nyadar gitu lho.” agar kehidupan ini adil, bukan sekedar parodi karena hidup kayak parodi bisa jadi sangat menyakitkan wong elit. Pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden tahun depan, sebenarnya bukan hanya sekedar untuk menggantikan anggota DPR dan presiden, tetapi juga partai politik yang dianggap tidak berpihak pada rakyat.

David Efendi, S.IP
Mahasiwa sekolah pasca Sarjana Ilmu Politik UGM
Baca Selengkapnya.....

Rabu, 21 Januari 2009

BELAJARLAH UNTUK RAKYAT!

”...jika semua rakyat bisa membaca , tidak ada penguasa, pendeta, ulama, atau pangeran yang bisa mempertahankan monopoli mereka terhadap kedaulatan kata.”

Bagaimana lagi, terpaksa harus ikut ambil bagian dalam musim panen partai. Musim panen semoga tidak hanya untuk rakyat yang ”gede” alias kaum papan atas yang kehidupannya sudah borjuis. Seharusnya dan selayaknya kemunculan partai-partai ini mampu memberikan kehidupan yang lebih baik. Karena apa? Semakin banyak yang memperjuangkan nasib kehidupan takyat yang kurang beruntung bahkan cenderung tertindas dan ditindas oleh sistem pembangunan. Kebangkitan nasional untuk rakyat miskin, masih jauh panggang dari api. Permainan data rakyat miskin sampai sekarang tidak jelas, naik turun dan jika naik naiknya sangat tinggi seperti deret ukur dan jika angka kemiskinan dan kebodohan turun, toh turunya hanya sedikit saja. Pemerintahan berjalan selalu melaporkan succses story dan kegagalan demi kegagagalan pembangunan dari sabang sampai merauke tiada kabar yang baik. Sehingga media massa menjadi penting jika berkebalikan dengan pemerintah dengan tetap memegang prinsip bad news is good news. Begitulah seharusnya memang check and balances dipraktikkan.

Partai tidak harus dijauhi akan tetapi rakyat harus terus menuerus mengontrol sebab beberapa alasan. Pertama, keberpihakan partai kepada rakyat masih jauh dari yang diharapkan. Kedua, survey membuktikan bahwa partai menjadi lahan koruptor bersarang dan mencari penghidupan. Ketiga, keuangan partai yang tidak transparan, selain membuat beban negara bertambah besar. Hal ini menjadikan kaum terpelajar terus bergerak untuk menjadi mata-mata rakyat untuk mengusung ide agar partai betul-betul menjadi pahlawan bagi rakyat, menjadi superhero bagi kesejahteraan rakyat miskin. Partai sejatinya menjadi alat perlawanan terhadap kebodohan, kejumudan, dan segala sesuati yang menyengsarakan rakyat. Politik bukan mahkluk kotor atau tercela, pelakunya lah yang menentukan warna politik akan menjadi anugerah atau bencana. Sehingga betul kata Laswell bahwa politik adalah siapa mendapat apa dan bagaimana? (who get what and how?)

Kembali ke maksud utama, penulis ingin menyampaikan perlunya menjaga daya kritis yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan. Salah satu cara yang paling memungkinkan untuk mencounter budaya berpartai yang buruk adalah mendidik rakyat karena bukankah kaum intelektual belajar untuk rakyat? Iya jelas. Kaum terdidik harus memihak rakyat kebanyakan dan jangan sekali-kali memilih abstain, cuti atau golput dalam memihak rakyat miskin dan bodoh. Bodoh dan miskin tidak karena takdir, akan tetapu karena kran dan akses ditutup dan dikuasi oleh jaringan mavia uang yang merasuk sampai pelosok desa dalam wujud yang beragam.

Rakyat perlu dididik, agar mempu membaca teks dan realitas politik yang penuh paradoksal. Terlebih menjelang gegap kompetisi politik dan partai pada tahun 2009 nanti. Tentu ini akan membawa konsekuensi yang besar bagi rakyat apabila tidak mulai sekarang dididik, dilatih, agar melek politik, agar tidak dibodohi oleh partai politik dan elitnya yang selalu menebar pesona, selalu menyebar jala janji-janji yang kadang tidak rasional bahkan hanya abang-abang lambe (lips services). Sekarang pertanyaannya bagaimama cara mendidik rakyat?

Disini penulis mengusulkan beberapa agenda aksi yang harus diusung oleh kelompok terpelajar dalam menyelamantakan aset bangsa yang bernama rakyat kebanyakan menjelang pemilu 2009. Pertama, pembekalan ideologis. Rakyat harusnya diberikan pemahaman bahwa sejatinya partai politik adalah alat perjuangan dalam rangka membela kepentingan rakyat. Ketika pada zaman kolonial, partai muncul sebagai reaksi dari penindasan yang berkesinambangan dan anti perikemanusiaan. Selain partai politik, ada satu gerakan yang tergabung dalam pendidikan Nasional Indonesia yang inilah kemudian melakukan upaya yang serius mencerdaskan rakyat. Wujudnya seperti partai akan tetapi bukan peserta /kompetitor pemilu pada saat itu. Proses ideologisasi partai yang demikian menjadi penting agar rakyat mampu mengukur, sejauh mana keberpihakan partai idaman atau partai yang mndekatai komunitasnya mampu dan mau memihak.

Kedua, Rakyat harus belajar membaca. Pelajar harus mau belajar untuk rakyat. Membaca adalah jendela untuk memahami realitas. Tanpa kemampuan membaca media atau berita rakyat akan menjadi bulan-bulanan dipermainkan oleh isu-isu yang tidak prinsipil misalnya soal pornografi, soal aliran sesat, soal korupsi, sementara kebutuhan mendasar adalah memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pekerjaan yang layak. Pemerintah seolah lepas dari tanggung jawab jika rakyat beradu kekuatan antar rakyat mengenai satu hal yang bisa dibilang masalah kecil dan sepele. Kelompok terpelajar dari univesrsitas bisa dan seharusnya melakukan pendidikan politik melalui program KKN (kuliah Kerja Nyata) atau bentuk program pemberdayaan lainnya. Hal inilah yang seharusnya menjadi kewajiban kampus untuk andil dalam menyelematkan masa depan bangsa dari kepunahan.

Oleh karena itu, kelompok terpelajar hadir menjadi referensi atau imaginasi bahwa rakyat harus pintar, cerdas, kritis, dengan belajar hal-hal yang sederhana agar rakyat tidak kerap diapusi alias dibujuki alias dibohongi. Kelompok terpelajar berkiprah secara konsisten dan konsekuen mengabdi kepada rakyat bukan menjadi menifefestasi sebagaimana 34 partai politik peserta pemilu plus 6 partai lokal akan tetapi PRM lebih sebagai kekuatan baru rakyat kebanyakan untuk menggalang kekuatan saling membentengi diri dari ”kebusukan partai politik” dan ”politisi busuk” sehingga mendapatkan manfaat yang banyak dari jumlah partai politik yang juga bertambah banyak. Indikasi dari gerakan PRM adalah kemampuan rakyat kecil dan komunitas untuk melakukan kontrak sosial atau kontrak politik dengan partai dan calon politisi (caleg) dalam bentuk perjanjian hitam diatas putih. Dan pembelajaran komitmen ini akan menjadi penting manakalah kehidupan berbangsa terus berjalan, dan tantangan-tantangan rakyat kian berat. Kepada siapa rakyat akan mengadu?? Mungkin ada secercah harapan tersisa dari gegap gempita menjelang musim panen partai pada tahun 2009 nanti. Semoga saja keberpihakan untuk rakyat senantiasa dipertahankan dan diperjuangkan dan bukan untuk diperjualbelikan untuk kepentingan singkat dan sesaat. Politik memang penuh ketidakpastian, disatu sisi memperbanyak teman juga menambah lawan. Tapi yang jelas, salah satu prinsip dasar politik sebagai the art of possibility adalah make possible what seem imposible!

David Efendi
Mahasiwa Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Politik UGM Yogayakarta.
Dimuat di koran media Indonesia, 1 September, 2008
Baca Selengkapnya.....
JURNAL MANIFESTO © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute